Semesta itu ada lengkap dengan segala ironi di dalamnya. Setidaknya itu yang ada di benak saya belakangan ini. Menjadi saksi mata atas berbagai macam pengalaman hidup orang-orang di sekitar saya, membuat saya gemas sekaligus skeptis tentang gagasan hidup yang aman dan damai serta sarat dengan nilai jujur dan adil. Kadang, seberapa besar pun usaha kita menjadi manusia yang sebenarnya, tampaknya tak cukup membuat hidup kita bahagia sesuai yang kita angan-angankan.
Contoh yang mudah saja, soal perselingkuhan. Siapa sih yang ngga pernah menjadi saksi atas tema “populer” tersebut. Atau bahkan ikut menjadi pelakonnya mungkin? Salah satu kasus misalnya, suami/istri yang setia dan mulai membosankan bagi pasangannya. Maka dimulailah intrik perselingkuhan yang dipacu dari keinginan memicu adrenalin agar hidup menjadi lebih “hidup”. Di satu sisi, salah satu pasangan (sebut saja X) mau saja dibodoh-bodohi tetap berpegang teguh akan rasa percaya terhadap pasangan hidupnya yang jelas-jelas sudah dikhianati. Lucunya, si X sebenarnya sudah tahu bahwa ia sudah dikhianati oleh pasangannya, tapi demi menjaga reputasi lembaga pernikahan keduanya, X terpaksa berpura-pura tak terjadi apa-apa. X menjadi manusia yang kemudian mampu membohongi dirinya sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.
Di sisi lain, pasangan X (sebut saja Y), semakin kecanduan akan sensasi perselingkuhan. Demi menutupi boroknya sendiri, ia selalu membuat kebohongan demi kebohongan di depan X, juga orang-orang di sekitarnya. Y tahu bahwa yang dilakukannya bukanlah hal yang benar, ia pun sadar bahwa itu dilarang. Tapi ia terus dan terus melakukannya. Pada saat yang sama, si Y pun menyakiti perasaan pasangannya berulang kali tanpa merasa bersalah. Sementara itu, di depan semua orang Y berpura-pura menjadi sosok yang dihormati dan terlihat tak bermasalah dengan pernikahannya.
Di mana letak ironi-nya? Ironi ketika orang melihat pernikahan X dan Y baik-baik saja, sebenarnya pada nyatanya X dan Y saling menutupi kenyataan bahwa kehidupan pernikahannya sudah porak-poranda. Semakin menjadi ironi ketika keduanya berpura-pura tak terjadi apa-apa. Semakin nyaman, menyakiti satu sama lain. Kalau sudah begini, jelas keduanya butuh psikiater.
Cerita ironi lain datang dari pengalaman seorang kawan yang sudah ditinggal kabur ayahnya sejak kecil. Konon, ayahnya pergi begitu saja meninggalkan si ibu dengan “buah karya” berupa beberapa orang anak. Namanya kabur, tentu saja konotasinya negatif. Jangankan soal biaya hidup dan pendidikan, kabar anak-anak pun tak pernah ditanyakan. Waktu pun berlalu, salah satu anak sudah mampu membiayai hidupnya, ibunya dan keluarganya. Tak disangka, sosok ayah yang selama ini tak pernah ada kini kembali muncul dengan fisik yang sakit-sakitan dan tentunya kesulitan ekonomi. Bagi si anak, tak ada pilihan lain kecuali menerima kembali si ayah dengan penuh lapang dada dan kebesaran hati. Tanpa bisa protes dan marah akan kepergian ayahnya selama ini. Ironis kan, bahwa dibalik begitu banyak penderitaan ternyata masih tersimpan setitik kebahagian yang mau tak mau harus dapat dinikmati meski sebentar saja.
Adapula kisah ironi antara dua orang sahabat yang sudah seperti sanak saudara (sebut saja A dan B), tetapi kemudian seolah menjadi musuh satu sama lain. Ironisnya hanya karena salah satunya percaya akan lontaran fitnah diluar logika yang diumpankan pihak ketiga. Sementara si A semakin benci tanpa alasan dengan si B, bahkan memutuskan tali silahturrahmi keduanya. Si B disisi lain, harus bersabar dan berkepala dingin atas semua fitnah yang dilimpahkan kepadanya. Keduanya tak akan pernah bertegur sapa sampai salah satu tersadar akan pedihnya hidup tanpa saudara.
Dan masih banyak lagi kisah ironi lainnya.
Kadang saya pikir, mungkin ironi adalah salah satu cara Tuhan yang paling efektif untuk “menegur” manusia. Menguji seberapa besar keimanan kita terhadap nilai-nilai penting dalam hidup yang selama ini kita abaikan. Bagi saya tak ada jalan lain selain menikmati segala ironi yang ada dalam hidup karena tampaknya tak bisa dihindari. Mungkin jalan yang terbaik adalah dengan menertawakan hidup yang penuh misteri dan ironi, sambil terus bersyukur akan apa yang terjadi. Dengan bersahabat dengan ironi, mungkin hidup akan bisa bersahabat dengan kita. Semoga.
KEBON SIRIH, 23.00 P.M.
E N I G M A
Rabu, 16 Januari 2013
STARSTRUCK
Setiap orang yang jadi “korban” terpaan media massa (khususnya film atau televisi), pasti pernah mengalami sindrom starstruck. Bagi yang asing dengan istilah starstruck, secara sederhana artinya ketertarikan terhadap orang terkenal, baik aktor, aktris, ataupun selebriti lainnya.
Tampilan para “bintang idola” di layar kaca bisa jadi membuat setiap penonton jatuh hati. Tak jarang rasa ketertarikan terhadap “bintang idola” mendorong kita melakukan hal-hal norak dan unbelievable. Kadang, meski kita sadar itu norak, kita tetep aja ngga malu. Padahal kita tahu: apapun hal norak yang kita lakukan, si “bintang idola” ngga akan peduli, lha wong kenal pun tidak :p
Banyak perilaku menggelikan yang dilakukan mereka yang mengidap sindrom starstruck. Misalnya aja para penggemar boyband super junior asal Korea, yang rela ngikutin gaya berpakaian, ngafalin koreografi trus smua lagu2 idola mereka. Bahkan update kisah kehidupan para personilnya di kehidupan nyata. Padahal jelas-jelas ngga akan juga keluar di soal ujian apapun (penggemar fanatik boyband ini kebanyakan memang anak sekolahan). Meski dianggap aneh dan ngga penting, para penggemar suju tetep aja melakukan segala hal yang membuat mereka dapat merasa lebih dekat dengan “bintang idola”nya. Udah gilak, ya mau gimana lagi coba?!
Sebagai “penonton berat” (penonton yang kuat melek nonton film atau serial tv hingga lebih dari lima jam sehari), saya juga mengidap sindrom starsruck. Tapi lantaran beda selera dengan para anakmudamasakini (kemudian digaplok pembaca), sindrom starstruck saya jatuh pada aktris Gillian Anderson dan David Duchovny, keduanya bintang lawas dan legendaris dalam serial televisi The X-Files, yang pernah jaya di masa 1990-an. Puluhan tahun sejak serial itu usai di televisi, saya pikir sindrom starstruck terhadap keduanya sudah memudar perlahan. Tapi anehnya ternyata ngga sama sekali. After all years, the chemistry is stay still. You guys may call me weird, but that’s the fact and I don’t even lie.
Jujur, saya kurang tau kalo sindrom starstruck itu punya semacam expired date atau ngga. Tapi kebanyakan orang yang saya kenal, hanya mengidap sindrom starstruck dalam jangka waktu pendek. Mudah suka, tapi juga mudah lupa. Sementara saya tergolong pribadi yang anomali. Ngga gampang suka, dan susah lupa. Nah lho?!.
Seiring dengan berjalannya waktu, sang “bintang idola” pastinya bertambah usia, atau bahkan berubah drastis secara fisik. Tapi buat saya, perubahan itu bahkan ngga merubah rasa ketertarikan saya. Hahaha, absurd banget kan?!. Misalnya aja klo liat si Gillian Anderson atau David Duchovny jadi bintang tamu dalam sebuah talkshow belakangan ini. Atau bahkan gosip mereka pisah sama pasangan masing-masing trus digosipin kencan bareng. Asli, rasanya kepo banget untuk browse lagi, lagi, dan lagi semua tentang duet maut itu. Plus dengan ekspetasi norak yang bahkan gak logis menurut orang awam: Hoping that both Gillian Anderson & David Duchovny become a couple as in the tv serial :p.
Bodo amat dah dikatain sakit jiwa juga, pokoknya I want to believe! Hahaha :D Kadang saya bingung juga kenapa efek sindrom starstruck bisa segitunya. Secara psikologis pasti ada penjelasan kenapa tayangan televisi begitu berpengaruh terhadap konsep “role model” penonton. Trus kenapa juga masa sindrom starstruck tiap orang berbeda-beda jangka waktunya? Apa aja faktor-faktor penyebabnya? Emangnya ada hubungannya dengan kemampuan “move on “ seseorang?! Wkwkwk..
Kebon Sirih, 23.29 WIB
Tampilan para “bintang idola” di layar kaca bisa jadi membuat setiap penonton jatuh hati. Tak jarang rasa ketertarikan terhadap “bintang idola” mendorong kita melakukan hal-hal norak dan unbelievable. Kadang, meski kita sadar itu norak, kita tetep aja ngga malu. Padahal kita tahu: apapun hal norak yang kita lakukan, si “bintang idola” ngga akan peduli, lha wong kenal pun tidak :p
Banyak perilaku menggelikan yang dilakukan mereka yang mengidap sindrom starstruck. Misalnya aja para penggemar boyband super junior asal Korea, yang rela ngikutin gaya berpakaian, ngafalin koreografi trus smua lagu2 idola mereka. Bahkan update kisah kehidupan para personilnya di kehidupan nyata. Padahal jelas-jelas ngga akan juga keluar di soal ujian apapun (penggemar fanatik boyband ini kebanyakan memang anak sekolahan). Meski dianggap aneh dan ngga penting, para penggemar suju tetep aja melakukan segala hal yang membuat mereka dapat merasa lebih dekat dengan “bintang idola”nya. Udah gilak, ya mau gimana lagi coba?!
Sebagai “penonton berat” (penonton yang kuat melek nonton film atau serial tv hingga lebih dari lima jam sehari), saya juga mengidap sindrom starsruck. Tapi lantaran beda selera dengan para anakmudamasakini (kemudian digaplok pembaca), sindrom starstruck saya jatuh pada aktris Gillian Anderson dan David Duchovny, keduanya bintang lawas dan legendaris dalam serial televisi The X-Files, yang pernah jaya di masa 1990-an. Puluhan tahun sejak serial itu usai di televisi, saya pikir sindrom starstruck terhadap keduanya sudah memudar perlahan. Tapi anehnya ternyata ngga sama sekali. After all years, the chemistry is stay still. You guys may call me weird, but that’s the fact and I don’t even lie.
Jujur, saya kurang tau kalo sindrom starstruck itu punya semacam expired date atau ngga. Tapi kebanyakan orang yang saya kenal, hanya mengidap sindrom starstruck dalam jangka waktu pendek. Mudah suka, tapi juga mudah lupa. Sementara saya tergolong pribadi yang anomali. Ngga gampang suka, dan susah lupa. Nah lho?!.
Seiring dengan berjalannya waktu, sang “bintang idola” pastinya bertambah usia, atau bahkan berubah drastis secara fisik. Tapi buat saya, perubahan itu bahkan ngga merubah rasa ketertarikan saya. Hahaha, absurd banget kan?!. Misalnya aja klo liat si Gillian Anderson atau David Duchovny jadi bintang tamu dalam sebuah talkshow belakangan ini. Atau bahkan gosip mereka pisah sama pasangan masing-masing trus digosipin kencan bareng. Asli, rasanya kepo banget untuk browse lagi, lagi, dan lagi semua tentang duet maut itu. Plus dengan ekspetasi norak yang bahkan gak logis menurut orang awam: Hoping that both Gillian Anderson & David Duchovny become a couple as in the tv serial :p.
Bodo amat dah dikatain sakit jiwa juga, pokoknya I want to believe! Hahaha :D Kadang saya bingung juga kenapa efek sindrom starstruck bisa segitunya. Secara psikologis pasti ada penjelasan kenapa tayangan televisi begitu berpengaruh terhadap konsep “role model” penonton. Trus kenapa juga masa sindrom starstruck tiap orang berbeda-beda jangka waktunya? Apa aja faktor-faktor penyebabnya? Emangnya ada hubungannya dengan kemampuan “move on “ seseorang?! Wkwkwk..
Kebon Sirih, 23.29 WIB
Sabtu, 16 Juni 2012
DICARI: GUBERNUR DKI YANG MELAYANI !
“Pemimpin Itu Pelayan”
Pertama
kali saya baca kalimat itu dalam sebuah artikel Islami yang tak sengaja saya
temukan saat melakukan riset iseng-iseng. Penasaran dengan judul artikel
tersebut, saya kemudian membaca isinya. Artikel tersebut berkisah tentang Khalifah
Al Makmun yang mengambilkan sendiri air minum untuk tamunya di malam hari.
Sementara sang tamu merasa heran, mengapa Khalifah tersebut tidak menyuruh
pelayannya saja, melainkan memilih melayani sendiri sang tamu. Sang Khalifah dengan
yakin berkata “Tidak” ia kemudian menjelaskan, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’”
(HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Usai
saya membaca dan memahami artikel tersebut, seketika saya merinding. Bukan karena
takut, melainkan takjub. Kisah sederhana ini mengusik konsep kepemimpinan yang
terlebih dahulu saya pahami di kepala saya. Hampir sepanjang hidup saya, pemimpin tak pernah terlihat sebagai
pelayan. Segala hal yang berkaitan dengan Sang Pemimpin selalu berupa: “perintah”
dan “yang diperintah”. Jika mata rantainya diperpanjang menjadi hubungan
sebab-akibat logis, hanya ada dua skenario yang ujung-ujungnya membuat posisi “yang
diperintah” serba salah. Dengan adanya
konsep perintah, hubungan antara Sang Pemimpin dan “yang dipimpin” sudah pasti
tidak pernah sejajar.
Jika
mau dicermati, hampir setiap Pemimpin di dalam institusi, organisasi,
birokrasi, atau bahkan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat kita
menggunakan konsep “perintah” dan “yang diperintah” seperti di atas. Tak
jarang, sosok Pemimpin di masyarakat kita, selalu identik dengan gaya
kepemimpinan yang otoriter. Semakin berkuasa, semakin otoriter pula gaya
kepemimpinannya. Semakin banyak “perintah” yang ditebar kepada “yang diperintah”.
Lantaran “yang diperintah” tak punya pilihan lain selain menuruti “perintah”
Sang Pemimpin, konsekuensi psikologisnya jelas: Sang Pemimpin merasa makin
besar kepala, sementara “yang dipimpin” merasa semakin tak berdaya.
Maka
tak heran bila arogansi menjadi tipikal utama sosok Pemimpin di masyarakat
kita. Kemudian bagaimana dengan “yang dipimpin” ? Ada tiga kemungkinan kategori
bagi mereka “yang dipimpin”. Pertama,
tipe ikut mainstream, cari aman dengan
menurut terhadap segala perintah sambil sekalian cari muka. Kedua, tipe pemberontak yang setengah
hati menuruti perintah, tapi mencibir di belakang. Ketiga, tipe rasional yang tak serta merta menurut perintah tanpa
alasan yang dianggap logis. Ironisnya, tipe pertama
lah yang cenderung “berhasil” menjalin kedekatan psikologis dengan Sang
Pemimpin dengan konsep “perintah” tadi. Mereka kemudian menjadi embrio baru
bagi Sang Pemimpin yang berwatak tipikal seperti sebelumnya. Sebuah sistem
kepemimpinan yang selama ini ternyata salah kaprah.
Konsep Pemimpin sebagai
Pelayan?
Sejarah
ternyata sudah memberikan contoh nyata konsep kepemimpinan yang efektif
sekaligus manusiawi. Konsep modern kepemimpinan pelayan diperkenalkan oleh
Robert K. Greenleaf dalam esainya di tahun 1970. Filosofi kuncinya ialah bahwa
tujuan utama seorang pemimpin ialah untuk melayani perusahaan yang mereka
pimpin.
Greenleaf
terinspirasi oleh Journey
to the East yang ditulis oleh novelis mistis
Herman Hesse. Hesse sendiri sangat terpengaruh oleh
filosofi Timur, yaitu konsep kepemimpinan pelayan yang muncul di teks Hindu
India dahulu kala dan dalam Taoisme China. Sebuah kisah dalam buku Journey to the East menceritakan tentang
sekumpulan orang yang melakukan perjalanan ke timur tengah.
Tokoh
sentral dalam kisah ini bernama Leo, Sang Pelayan (Leo The Servant). Dalam perjalanan tersebut, Leo berperan sebagai
pelayan yang melayani segala kebutuhan mereka. Tak hanya mencukupi kebutuhan
mereka, Leo bahkan seringkali bernyanyi dan memberikan semangat kepada mereka.
Leo terlibat total dalam menjalankan semua fungsi kecil yang luput dari
perhatian mereka, hingga hal-hal besar. He
is the person of extraordinary presence. Semua berjalan lancar sampai Leo
menghilang. Kemudian kelompok jatuh ke dalam kekacauan dan perjalanan tersebut
gagal. Mereka tak mampu meneruskan perjalanan mereka tanpa Leo Sang Pelayan.
Setelah bertahun-tahun kemudian, seseorang yang pernah menjadi Sang Narator
dalam kelompok tersebut berhasil menemukan Leo. Kemudian membawanya kepada sang
Pemimpin yang mensponsori perjalanan mereka ke Timur Tengah. Setelah bertemu
Sang Pemimpin, barulah mereka sadar bahwa Leo yang selama ini mereka kenal
sebagai Sang Pelayan merupakan Guru dan Penasehat Spiritual bagi Sang Pemimpin
dalam perjalanan menuju Timur Tengah tersebut. Kisah Pemimpin sebagai Pelayan
itu tak hanya menyentuh nurani, tapi juga memberikan inspirasi bagi semua orang
di seluruh dunia pada masanya.
Mencari Sosok Pemimpin
yang Melayani
Dalam
hitungan hari DKI Jakarta akan melangsungkan pemilihan Gubernur. Enam pasang
calon gubernur kini sudah mulai tancap gas untuk meyakinkan warga Jakarta bahwa
merekalah calon pemimpin yang dibutuhkan dan diidam-idamkan warga Jakarta. Majunya
calon gubernur dari jalur independen pun mewarnai pesta demokrasi lima tahunan
warga Jakarta.
Jelang
masa kampanye, politik pencitraan pun kian bersemi di media massa. Baik cetak,
elektronik, juga internet. Belum lagi kepentingan bisnis media massa yang aji
mumpung memanfaatkan momen tersebut untuk menyedot perhatian publik dengan
berbagai macam dalih. Meski begitu, memang tak ada jalan lain bagi para calon
pemimpin DKI I tersebut, selain tampil menarik dan meyakinkan di media massa
agar “dikenal” dan selanjutnya “dipilih” warga.
Sebagai
bagian dari insan pers, saya punya pengalaman luar biasa bertemu empat dari
enam calon gubernur DKI Jakarta. Bagi ukuran media di tempat saya bekerja,
empat dari enam cagub memang bukan indikasi berhasil. Tapi secara pribadi saya
belajar banyak dari empat cagub yang telah saya temui; Faisal Basri, Hendarji,
Hidayat Nur Wahid dan Jokowi. Dua cagub sisanya ibarat sulit “dijangkau”. Aneh?
Jawabannya Ya dan Tidak.
Aneh
karena kedua cagub tersebut kok ogah ya muncul di layar kaca sebagai narasumber?
Padahal tema dan visi mereka sudah disesuaikan dengan tema program dan masalah
sosial warga Jakarta. Tanpa dipungut biaya apa pun lagi. Lebih aneh lagi,
mereka kok lebih berani memasang
iklan berbudget milyaran rupiah di media lain untuk sekedar pencitraan dan
jualan visi misi ketimbang hadir sebagai narasumber dan berdialog langsung
dengan warga sambil mengupas problematika Jakarta.
Tidak
aneh juga, lantaran keduanya beralasan sibuk dengan jadwal dan kegiatan mereka
masing-masing. Maklum keduanya tergolong cagub incumbent yang masih menjabat sebagai kepala daerah tertentu.
Terlepas
dari itu, saya punya penilaian sendiri terhadap empat cagub yang telah saya
temui. Seperti yang saya duga, dua cagub yang datang dari kubu independen
relatif lebih mudah ditemui dan fleksibel. Mereka tak menutup mata bahwa undangan
media massa tertentu merupakan kebutuhan dan kesempatan mereka untuk melakukan
sosialisasi bagi visi dan misi mereka. Keduanya terlihat tertantang dengan
konsep “merakyat” untuk datang langsung ke lokasi yang dianggap
merepresentasikan problematika di DKI Jakarta selama ini, melakukan tanya-jawab
dengan presenter, hingga berdialog langsung dengan warga. Hal ini lumrah,
lantaran tak ada partai besar sebagai kendaraan politik yang mereka tumpangi. Nasib
keduanya dalam perhelatan akbar DKI I kelak amat bergantung dengan suara warga
Jakarta.
Sebelum
bertemu dengan Hidayat Nur Wahid dan Jokowi, saya sempat pesimis. Konon cagub dari
partai-partai besar tak lagi semurni persona aslinya. Sekuat apa pun karakter
mereka, pengaruh partai bersangkutan sebagai kendaraan politik yang
memfasilitasi mereka tak bisa dipungkiri. Perkiraan saya hampir benar setelah
bertemu dengan Hidayat Nur Wahid. Lantaran sudah pernah menjabat di
pemerintahan, tokoh tersebut persis seperti sosok Pemimpin dalam konsep “perintah”
dan “yang diperintah”. Tipikalnya pun nyaris sama. Hanya saja tiba-tiba citranya
berbeda ketika kamera mulai merekam kegiatan sang tokoh. Pandai bersandiwara?
Mungkin saja. Kepada saya beliau sempat keberatan ketika tahu bahwa lokasi
pengambilan gambar sedang terendam banjir hingga sedalam lutut kaki orang
dewasa. Berbagai alasan muncul dari Sang Calon Pemimpin. Intinya sih sama. Tak ingin pakaiannya basah dan
terendam banjir. Meski pada akhirnya beliau terpaksa turun ke lokasi berkat
lobby-lobby manis dan sebuah sepatu bot baru yang dibelikan tim suksesnya. Jauh
dalam lubuk hati, saya kecewa dan makin pesimis. Apa benar ada calon gubernur
yang benar-benar mampu “melayani” sebagai pemimpin?
Masih
dalam rasa pesimis, saya kemudian bertemu dengan sosok Jokowi. Kesan pertama
pun janggal. Lantaran tak seperti pemberitaan di media massa sebelumnya. Mungkin
ekspektasi saya terlalu berlebih. Mungkin pula karena ia baru saja dianugerahi
penghargaan dari institusi bergengsi di negeri ini. Karena sosoknya tak
sesederhana dan seramah yang saya bayangkan. Senyum terkulum dan tak banyak
bicara. Meski begitu, satu pertanyaan yang saya jawab singkat ternyata sudah
membuat sang cagub mengerti. Tapi auranya langsung berbeda ketika berhadapan
langsung dengan warga. Sebelum kamera menyala, ia menghampiri dan menjawab
semua orang yang mengerubung. Saat saya dan rekan-rekan saya bingung mencari
titik yang bagus untuk setting, ia
pun malah membantu memberi pendapat. Solusi praktis, bukan tanggapan klise yang
menyalahkan atau cari aman. Bahkan saat re-take
berulang kali ia tak pernah protes. Padahal hanya satu jam tersisa jelang
keberangkatan pesawatnya ke Solo. Usai pengambilan gambar, rasa penasaran saya
belum puas. Saya pun meminta sedikit waktu untuk mengabadikan momen bersama para
kru. Ia pun serta merta melayani tanpa keberatan. Saya tak pernah tahu apa ini
hanya bagian dari politik pencitraan atau tidak.
Sayang
sekali, saya baru bertemu empat dari enam cagub DKI Jakarta. Tapi jika saya
boleh bermimpi, saya ingin melihat Pemimpin yang mampu dan mau menempatkan diri
sebagai “pelayan”. Sudah terlalu banyak contoh pemimpin yang hobi memberikan “perintah”
di negeri ini. Tak satu pun di antara mereka yang mampu membuka mata hati kita.
Apalagi membawa perubahan di Ibu Kota.
Mayoritas
warga DKI Jakarta hidup di ambang garis kemiskinan. Mereka seingkali memandang
diri mereka sebagai “orang kecil”. Keberadaan mayoritas “orang kecil” di kota
besar inilah yang selanjutnya punya konsekuensi logis terhadap munculnya
beragam problematika ibukota. Mulai dari banjir, Pemukiman Kumuh, Kemacetan,
Sampah, Tata kota yang semrawut, Fasilitas dan sarana transportasi yang serba
minim, hingga mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Dalam
buku Menjadi Manusia karangan Jakob
Sumardjo, disebutkan bahwa
“Orang kecil hanya peduli pada hal-hal
kecil sehari-hari. Mereka hanya peduli
pada bagaimana menghidupi keluarga sehari-hari.”
pada bagaimana menghidupi keluarga sehari-hari.”
Tak
heran, bila mereka cenderung apatis terhadap siapapun calon pemimpin mereka
nanti. “Orang Kecil” terlalu banyak menanggung akumulasi derita akibat gaya
kepimpinan yang sarat dengan “perintah”. Bila sudah demikian, pemimpin yang
melayani mutlak dibutuhkan. Tak hanya untuk membangun kembali kepercayan para “orang
kecil”. Tapi juga memberi inspirasi dan teladan bagi pimpinan di atasnya.
Ada kutipan menarik dari
Jakob Sumardjo, yang terus mengusik saya hingga kini:
“Orang besar yang bersikap
seperti orang kecil inilah yang langka. Kebanyakan orang besar memang bersikap
seperti layaknya orang besar. Bahkan ada orang-orang tak besar bersikap sok
besar. Maka belajarlah dari orang kecil. Jadilah orang besar yang bersikap
seperti orang kecil.”
seperti orang kecil.”
Dalam konteks mencari
calon gubernur DKI yang melayani, pilihlah sosok “besar” yang bersikap seperti “orang
kecil”. Pemimpin yang “melayani” bukan yang “ingin dilayani”.
17. 06. 2012. 05.00 a.m.
Sabtu, 21 April 2012
Dear Friend
After years, I’m glad to see you again. Not just because I’m curious about your new appereance or even much stories I’ve been missed. What’s more important is: I do miss the moment we’ve shared together like this.
Thing’s change. We knew it as the time goes by. As we’re grew up each days. I did notice some differences in you, as I realized some differences in me too. But here we are today, meeting up for remebering the same memories in the past.
What we’ve been thru in the past must have determine our path today. And the destiny is always about choices. Some choice comes up with the consequences we’ve must took. Either we like it or not.
So, here I am today. Sitting in front of you. Sharing about what I’ve been thru lately. There are difficult times, thoughness, tears, proudly things, and even the stagnant romance ( If I could say that J). I tell you things without even questioning you really wanna hear that, or you just pretending you want to. All just because I do believe in you as a friend of mine.
Time running so fast. It’s your turn to tell me about your life. I do have much time to hear every single words you say. Above all the topic we could share, somehow you pick the love story (and it’s because I forced you to tell, pardon me). Then as the story goes by, I could see some hapiness in your eyes. Yet, there is also some misery you hide.
I did notice some strange gesture while you saying about a marriage. We both knew that we’re two girls with quarter life (or even more age in fact) crises. But something just not like the way I guess it be. In fact, you’re not have a short plan to get married. It would be not strange at all, if you don’t have any lover this time.
Friend, I know you as the intellegence person. You did realized that your story has some inconsistency. You don’t need me to asking what secret you’re not telling me. But somehow today I have to find out more. You wrapped the story in some strange way. After I questioning some statement, there are big “O” coming up.
Then you tell me about the secret you’ve been hide for like years. In fact, I’d really shocked. ‘I knew you would react like that’, your eyes told me that you already predict my response. So you began to tell the whole truths. It is your extreme thoughts and ideas that comes out. It is your challenging experience in life. It is unpredictable steps you made. It is contrary concept of common believed. yet, it is also a brave decision.
So here we are now friend. Standing in the difference place of thoughts and principal things. I’d realized we both now have a difference values also. But after all the objections I’ve said, after all unacceptable fact I’d heard. I did feel like I have some responsibilities to bring you back in some classic track, that I believe right. Until I realized myself, I have no right to interfere in your personal life.
Days continued..
I feel like I’m a bad person. Pardon me for not being a good listener that time. Pardon me for not being a good friend you need me too. But somehow, we’ve learned that: in some point of life, there are times that I couldn’t stand behind you. So as in return. Not because we’re no longer a good friend. But there are difference things that couldn’t make us stay in the same line as the old days. Things that we should appreciate.
Inspite of all kind of differences, you’re always be my good friend in life. Forever.
With the warmth hug,
-Ch-
A real friend is one who walks in when the rest of the world walks out." - Walter Winchell -
Sabtu, 07 April 2012
L E N Y A P
Ini bahaya. Belakangan aku tak lagi dapat merasakan kehadiranmu.
Tidak di pelupuk mata, tidak dibait nada suara, di jaringan seluler
atau bahkan di dunia maya.
Kamu menguap begitu saja, seolah tak pernah nyata.
Entah aku yang tak lagi peka.
Atau kamu memang memutuskan pergi dengan luka.
Hari, Minggu, Bulan, Tahun, dan Musim pun berlalu.
Aku bohong bila tak pernah menunggu.
Aku dusta bila tak pernah merindu.
Ada yang mengganjal di lubuk hati.
Menahanku untuk mencari.
Rasa takut itu demikian besar.
Begitu besar hingga aku pun enggan berikhtiar.
Mereka bilang rasa takut itu mesti dihadapi.
Tapi mereka tak mengerti.
Aku pernah terluka karena bermain api.
Dan semua tentangmu sungguh terasa pilu.
Maafkan aku karena tak sanggup mencarimu.
Maafkan aku karena pernah melepasmu.
Kini setiap hari adalah hukuman yang mesti dijalani.
Bukankah menurutmu rasa itu sebaiknya dibiarkan mati?
Karena sang rasa pernah hidup di sanubari, maka ketika ia hampir mati
Sakitnya menjalar dan menjangkiti nalar.
Aku setengah mati meronta menahan sakitnya.
Akalku tak pernah sanggup membunuh bayangmu.
Sesekali kesibukkan membantuku melenyapkanmu.
Sayangnya tiap aku lelah, kenangan tentangmu kembali menyergap.
Aku pasrah.
Membiarkan kenangan itu kembali berputar.
Hingga kenyataan menamparku untuk sadar.
Dulu, tiap kali kamu menghilang aku selalu tahu kamu akan kembali.
Intuisiku selalu benar. Kamu kembali dengan rasa yang semakin besar.
Aku begitu merasa satu denganmu.
Benang jiwa kita bergetar dengan frekuensi yang sama.
Tapi sepertinya kini tidak lagi.
Sekuat apapun aku menangis dan menginginkan kamu kembali.
Kamu tak pernah datang lagi.
Tidak dalam mimpi ataupun fiksi.
Ini bahaya. Karena aku tak lagi dapat bertemu kamu dalam khayal atau pun mimpi.
Setiap sel dalam ragaku teriak membutuhkanmu.
Mendamba hadirmu meski dalam imaji.
Hal yang sangat menyakitkan adalah kehilangan orang yang kita cintai.
Aku harus kehilanganmu dalam nyata, juga dalam mimpi.
Untuk kesekian kalinya.
ALERGI PAGI
Ia tak lagi menyukai pagi
Sejak kamu berhenti menyapa "Selamat Pagi"
Ia benci menatap matahari
Sejak kamu tiba2 melepas dekapan tanpa pamitan
Ia kesal mendengar kicauan burung parkit di pagi hari
Sebab itu hanya mengingatkan sakit di sembilu hati
Ia benci tiap kali rambutnya tersapu semilir angin pagi
Sebab itu kembali mengingatkannya akan tanganmu yang tak pernah membelai helaian rambut di wajahnya lagi.
Perempuan riang itu kini berubah menjadi pemurung
Sebab dirimu tak punya nyali menjelaskan apa yang terjadi.
Perempuan itu trauma tiap kali mendengar kata cinta
Sejak kamu hanya bermain kata dan menggeser makna sebenarnya.
Perempuan itu berhenti mempercayai keajaiban
Sejak kehadiranmu ternyata hanya kebetulan.
Dalam tangis dan rindu yang tak berkesudahan
Perempuan itu harus tunduk pada keikhlasan
Dan sungguh apa yg telah kamu lakukan telah menjadikannya lebih tangguh sekaligus
r a p u h.
Sejak kamu berhenti menyapa "Selamat Pagi"
Ia benci menatap matahari
Sejak kamu tiba2 melepas dekapan tanpa pamitan
Ia kesal mendengar kicauan burung parkit di pagi hari
Sebab itu hanya mengingatkan sakit di sembilu hati
Ia benci tiap kali rambutnya tersapu semilir angin pagi
Sebab itu kembali mengingatkannya akan tanganmu yang tak pernah membelai helaian rambut di wajahnya lagi.
Perempuan riang itu kini berubah menjadi pemurung
Sebab dirimu tak punya nyali menjelaskan apa yang terjadi.
Perempuan itu trauma tiap kali mendengar kata cinta
Sejak kamu hanya bermain kata dan menggeser makna sebenarnya.
Perempuan itu berhenti mempercayai keajaiban
Sejak kehadiranmu ternyata hanya kebetulan.
Dalam tangis dan rindu yang tak berkesudahan
Perempuan itu harus tunduk pada keikhlasan
Dan sungguh apa yg telah kamu lakukan telah menjadikannya lebih tangguh sekaligus
r a p u h.
Langganan:
Postingan (Atom)