Sabtu, 16 Juni 2012

DICARI: GUBERNUR DKI YANG MELAYANI !




“Pemimpin Itu Pelayan”

Pertama kali saya baca kalimat itu dalam sebuah artikel Islami yang tak sengaja saya temukan saat melakukan riset iseng-iseng. Penasaran dengan judul artikel tersebut, saya kemudian membaca isinya. Artikel tersebut berkisah tentang Khalifah Al Makmun yang mengambilkan sendiri air minum untuk tamunya di malam hari. Sementara sang tamu merasa heran, mengapa Khalifah tersebut tidak menyuruh pelayannya saja, melainkan memilih melayani sendiri sang tamu. Sang Khalifah dengan yakin berkata “Tidak” ia kemudian menjelaskan, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim). 

Usai saya membaca dan memahami artikel tersebut, seketika saya merinding. Bukan karena takut, melainkan takjub. Kisah sederhana ini mengusik konsep kepemimpinan yang terlebih dahulu saya pahami di kepala saya. Hampir sepanjang hidup saya, pemimpin tak pernah terlihat sebagai pelayan. Segala hal yang berkaitan dengan Sang Pemimpin selalu berupa: “perintah” dan “yang diperintah”. Jika mata rantainya diperpanjang menjadi hubungan sebab-akibat logis, hanya ada dua skenario yang ujung-ujungnya membuat posisi “yang diperintah” serba salah. Dengan adanya konsep perintah, hubungan antara Sang Pemimpin dan “yang dipimpin” sudah pasti tidak pernah sejajar.

Jika mau dicermati, hampir setiap Pemimpin di dalam institusi, organisasi, birokrasi, atau bahkan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat kita menggunakan konsep “perintah” dan “yang diperintah” seperti di atas. Tak jarang, sosok Pemimpin di masyarakat kita, selalu identik dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Semakin berkuasa, semakin otoriter pula gaya kepemimpinannya. Semakin banyak “perintah” yang ditebar kepada “yang diperintah”. Lantaran “yang diperintah” tak punya pilihan lain selain menuruti “perintah” Sang Pemimpin, konsekuensi psikologisnya jelas: Sang Pemimpin merasa makin besar kepala, sementara “yang dipimpin” merasa semakin tak berdaya.

Maka tak heran bila arogansi menjadi tipikal utama sosok Pemimpin di masyarakat kita. Kemudian bagaimana dengan “yang dipimpin” ? Ada tiga kemungkinan kategori bagi mereka “yang dipimpin”. Pertama, tipe ikut mainstream, cari aman dengan menurut terhadap segala perintah sambil sekalian cari muka. Kedua, tipe pemberontak yang setengah hati menuruti perintah, tapi mencibir di belakang. Ketiga, tipe rasional yang tak serta merta menurut perintah tanpa alasan yang dianggap logis. Ironisnya, tipe pertama lah yang cenderung “berhasil” menjalin kedekatan psikologis dengan Sang Pemimpin dengan konsep “perintah” tadi. Mereka kemudian menjadi embrio baru bagi Sang Pemimpin yang berwatak tipikal seperti sebelumnya. Sebuah sistem kepemimpinan yang selama ini ternyata salah kaprah.



Konsep Pemimpin sebagai Pelayan?

Sejarah ternyata sudah memberikan contoh nyata konsep kepemimpinan yang efektif sekaligus manusiawi. Konsep modern kepemimpinan pelayan diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam esainya di tahun 1970. Filosofi kuncinya ialah bahwa tujuan utama seorang pemimpin ialah untuk melayani perusahaan yang mereka pimpin.
 
Greenleaf terinspirasi oleh Journey to the East yang ditulis oleh novelis mistis Herman Hesse. Hesse sendiri sangat terpengaruh oleh filosofi Timur, yaitu konsep kepemimpinan pelayan yang muncul di teks Hindu India dahulu kala dan dalam Taoisme China. Sebuah kisah dalam buku Journey to the East menceritakan tentang sekumpulan orang yang melakukan perjalanan ke timur tengah. 

Tokoh sentral dalam kisah ini bernama Leo, Sang Pelayan (Leo The Servant). Dalam perjalanan tersebut, Leo berperan sebagai pelayan yang melayani segala kebutuhan mereka. Tak hanya mencukupi kebutuhan mereka, Leo bahkan seringkali bernyanyi dan memberikan semangat kepada mereka. Leo terlibat total dalam menjalankan semua fungsi kecil yang luput dari perhatian mereka, hingga hal-hal besar. He is the person of extraordinary presence. Semua berjalan lancar sampai Leo menghilang. Kemudian kelompok jatuh ke dalam kekacauan dan perjalanan tersebut gagal. Mereka tak mampu meneruskan perjalanan mereka tanpa Leo Sang Pelayan. Setelah bertahun-tahun kemudian, seseorang yang pernah menjadi Sang Narator dalam kelompok tersebut berhasil menemukan Leo. Kemudian membawanya kepada sang Pemimpin yang mensponsori perjalanan mereka ke Timur Tengah. Setelah bertemu Sang Pemimpin, barulah mereka sadar bahwa Leo yang selama ini mereka kenal sebagai Sang Pelayan merupakan Guru dan Penasehat Spiritual bagi Sang Pemimpin dalam perjalanan menuju Timur Tengah tersebut. Kisah Pemimpin sebagai Pelayan itu tak hanya menyentuh nurani, tapi juga memberikan inspirasi bagi semua orang di seluruh dunia pada masanya. 

Mencari Sosok Pemimpin yang Melayani
Dalam hitungan hari DKI Jakarta akan melangsungkan pemilihan Gubernur. Enam pasang calon gubernur kini sudah mulai tancap gas untuk meyakinkan warga Jakarta bahwa merekalah calon pemimpin yang dibutuhkan dan diidam-idamkan warga Jakarta. Majunya calon gubernur dari jalur independen pun mewarnai pesta demokrasi lima tahunan warga Jakarta.

Jelang masa kampanye, politik pencitraan pun kian bersemi di media massa. Baik cetak, elektronik, juga internet. Belum lagi kepentingan bisnis media massa yang aji mumpung memanfaatkan momen tersebut untuk menyedot perhatian publik dengan berbagai macam dalih. Meski begitu, memang tak ada jalan lain bagi para calon pemimpin DKI I tersebut, selain tampil menarik dan meyakinkan di media massa agar “dikenal” dan selanjutnya “dipilih” warga.

Sebagai bagian dari insan pers, saya punya pengalaman luar biasa bertemu empat dari enam calon gubernur DKI Jakarta. Bagi ukuran media di tempat saya bekerja, empat dari enam cagub memang bukan indikasi berhasil. Tapi secara pribadi saya belajar banyak dari empat cagub yang telah saya temui; Faisal Basri, Hendarji, Hidayat Nur Wahid dan Jokowi. Dua cagub sisanya ibarat sulit “dijangkau”. Aneh? Jawabannya Ya dan Tidak. 
 
Aneh karena kedua cagub tersebut kok ogah ya muncul di layar kaca sebagai narasumber? Padahal tema dan visi mereka sudah disesuaikan dengan tema program dan masalah sosial warga Jakarta. Tanpa dipungut biaya apa pun lagi. Lebih aneh lagi, mereka kok lebih berani memasang iklan berbudget milyaran rupiah di media lain untuk sekedar pencitraan dan jualan visi misi ketimbang hadir sebagai narasumber dan berdialog langsung dengan warga sambil mengupas problematika Jakarta.

Tidak aneh juga, lantaran keduanya beralasan sibuk dengan jadwal dan kegiatan mereka masing-masing. Maklum keduanya tergolong cagub incumbent yang masih menjabat sebagai kepala daerah tertentu.

Terlepas dari itu, saya punya penilaian sendiri terhadap empat cagub yang telah saya temui. Seperti yang saya duga, dua cagub yang datang dari kubu independen relatif lebih mudah ditemui dan fleksibel. Mereka tak menutup mata bahwa undangan media massa tertentu merupakan kebutuhan dan kesempatan mereka untuk melakukan sosialisasi bagi visi dan misi mereka. Keduanya terlihat tertantang dengan konsep “merakyat” untuk datang langsung ke lokasi yang dianggap merepresentasikan problematika di DKI Jakarta selama ini, melakukan tanya-jawab dengan presenter, hingga berdialog langsung dengan warga. Hal ini lumrah, lantaran tak ada partai besar sebagai kendaraan politik yang mereka tumpangi. Nasib keduanya dalam perhelatan akbar DKI I kelak amat bergantung dengan suara warga Jakarta.
 
Sebelum bertemu dengan Hidayat Nur Wahid dan Jokowi, saya sempat pesimis. Konon cagub dari partai-partai besar tak lagi semurni persona aslinya. Sekuat apa pun karakter mereka, pengaruh partai bersangkutan sebagai kendaraan politik yang memfasilitasi mereka tak bisa dipungkiri. Perkiraan saya hampir benar setelah bertemu dengan Hidayat Nur Wahid. Lantaran sudah pernah menjabat di pemerintahan, tokoh tersebut persis seperti sosok Pemimpin dalam konsep “perintah” dan “yang diperintah”. Tipikalnya pun nyaris sama. Hanya saja tiba-tiba citranya berbeda ketika kamera mulai merekam kegiatan sang tokoh. Pandai bersandiwara? Mungkin saja. Kepada saya beliau sempat keberatan ketika tahu bahwa lokasi pengambilan gambar sedang terendam banjir hingga sedalam lutut kaki orang dewasa. Berbagai alasan muncul dari Sang Calon Pemimpin. Intinya sih sama. Tak ingin pakaiannya basah dan terendam banjir. Meski pada akhirnya beliau terpaksa turun ke lokasi berkat lobby-lobby manis dan sebuah sepatu bot baru yang dibelikan tim suksesnya. Jauh dalam lubuk hati, saya kecewa dan makin pesimis. Apa benar ada calon gubernur yang benar-benar mampu “melayani” sebagai pemimpin?

Masih dalam rasa pesimis, saya kemudian bertemu dengan sosok Jokowi. Kesan pertama pun janggal. Lantaran tak seperti pemberitaan di media massa sebelumnya. Mungkin ekspektasi saya terlalu berlebih. Mungkin pula karena ia baru saja dianugerahi penghargaan dari institusi bergengsi di negeri ini. Karena sosoknya tak sesederhana dan seramah yang saya bayangkan. Senyum terkulum dan tak banyak bicara. Meski begitu, satu pertanyaan yang saya jawab singkat ternyata sudah membuat sang cagub mengerti. Tapi auranya langsung berbeda ketika berhadapan langsung dengan warga. Sebelum kamera menyala, ia menghampiri dan menjawab semua orang yang mengerubung. Saat saya dan rekan-rekan saya bingung mencari titik yang bagus untuk setting, ia pun malah membantu memberi pendapat. Solusi praktis, bukan tanggapan klise yang menyalahkan atau cari aman. Bahkan saat re-take berulang kali ia tak pernah protes. Padahal hanya satu jam tersisa jelang keberangkatan pesawatnya ke Solo. Usai pengambilan gambar, rasa penasaran saya belum puas. Saya pun meminta sedikit waktu untuk mengabadikan momen bersama para kru. Ia pun serta merta melayani tanpa keberatan. Saya tak pernah tahu apa ini hanya bagian dari politik pencitraan atau tidak. 

Sayang sekali, saya baru bertemu empat dari enam cagub DKI Jakarta. Tapi jika saya boleh bermimpi, saya ingin melihat Pemimpin yang mampu dan mau menempatkan diri sebagai “pelayan”. Sudah terlalu banyak contoh pemimpin yang hobi memberikan “perintah” di negeri ini. Tak satu pun di antara mereka yang mampu membuka mata hati kita. Apalagi membawa perubahan di Ibu Kota. 

Mayoritas warga DKI Jakarta hidup di ambang garis kemiskinan. Mereka seingkali memandang diri mereka sebagai “orang kecil”. Keberadaan mayoritas “orang kecil” di kota besar inilah yang selanjutnya punya konsekuensi logis terhadap munculnya beragam problematika ibukota. Mulai dari banjir, Pemukiman Kumuh, Kemacetan, Sampah, Tata kota yang semrawut, Fasilitas dan sarana transportasi yang serba minim, hingga mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. 

Dalam buku Menjadi Manusia karangan Jakob Sumardjo, disebutkan bahwa
“Orang kecil hanya peduli pada hal-hal kecil sehari-hari. Mereka hanya peduli
pada bagaimana menghidupi keluarga sehari-hari.”

Tak heran, bila mereka cenderung apatis terhadap siapapun calon pemimpin mereka nanti. “Orang Kecil” terlalu banyak menanggung akumulasi derita akibat gaya kepimpinan yang sarat dengan “perintah”. Bila sudah demikian, pemimpin yang melayani mutlak dibutuhkan. Tak hanya untuk membangun kembali kepercayan para “orang kecil”. Tapi juga memberi inspirasi dan teladan bagi pimpinan di atasnya.

Ada kutipan menarik dari Jakob Sumardjo, yang terus mengusik saya hingga kini:
“Orang besar yang bersikap seperti orang kecil inilah yang langka. Kebanyakan orang besar memang bersikap seperti layaknya orang besar. Bahkan ada orang-orang tak besar bersikap sok besar. Maka belajarlah dari orang kecil. Jadilah orang besar yang bersikap
seperti orang kecil.”

Dalam konteks mencari calon gubernur DKI yang melayani, pilihlah sosok “besar” yang bersikap seperti “orang kecil”. Pemimpin yang “melayani” bukan yang “ingin dilayani”.

17. 06. 2012. 05.00 a.m.