Rabu, 16 Januari 2013

BECAUSE UNIVERSE LOVES IRONY!

Semesta itu ada lengkap dengan segala ironi di dalamnya. Setidaknya itu yang ada di benak saya belakangan ini. Menjadi saksi mata atas berbagai macam pengalaman hidup orang-orang di sekitar saya, membuat saya gemas sekaligus skeptis tentang gagasan hidup yang aman dan damai serta sarat dengan nilai jujur dan adil. Kadang, seberapa besar pun usaha kita menjadi manusia yang sebenarnya, tampaknya tak cukup membuat hidup kita bahagia sesuai yang kita angan-angankan.

Contoh yang mudah saja, soal perselingkuhan. Siapa sih yang ngga pernah menjadi saksi atas tema “populer” tersebut. Atau bahkan ikut menjadi pelakonnya mungkin? Salah satu kasus misalnya, suami/istri yang setia dan mulai membosankan bagi pasangannya. Maka dimulailah intrik perselingkuhan yang dipacu dari keinginan memicu adrenalin agar hidup menjadi lebih “hidup”. Di satu sisi, salah satu pasangan (sebut saja X) mau saja dibodoh-bodohi tetap berpegang teguh akan rasa percaya terhadap pasangan hidupnya yang jelas-jelas sudah dikhianati. Lucunya, si X sebenarnya sudah tahu bahwa ia sudah dikhianati oleh pasangannya, tapi demi menjaga reputasi lembaga pernikahan keduanya, X terpaksa berpura-pura tak terjadi apa-apa. X menjadi manusia yang kemudian mampu membohongi dirinya sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.

Di sisi lain, pasangan X (sebut saja Y), semakin kecanduan akan sensasi perselingkuhan. Demi menutupi boroknya sendiri, ia selalu membuat kebohongan demi kebohongan di depan X, juga orang-orang di sekitarnya. Y tahu bahwa yang dilakukannya bukanlah hal yang benar, ia pun sadar bahwa itu dilarang. Tapi ia terus dan terus melakukannya. Pada saat yang sama, si Y pun menyakiti perasaan pasangannya berulang kali tanpa merasa bersalah. Sementara itu, di depan semua orang Y berpura-pura menjadi sosok yang dihormati dan terlihat tak bermasalah dengan pernikahannya.

Di mana letak ironi-nya? Ironi ketika orang melihat pernikahan X dan Y baik-baik saja, sebenarnya pada nyatanya X dan Y saling menutupi kenyataan bahwa kehidupan pernikahannya sudah porak-poranda. Semakin menjadi ironi ketika keduanya berpura-pura tak terjadi apa-apa. Semakin nyaman, menyakiti satu sama lain. Kalau sudah begini, jelas keduanya butuh psikiater.

Cerita ironi lain datang dari pengalaman seorang kawan yang sudah ditinggal kabur ayahnya sejak kecil. Konon, ayahnya pergi begitu saja meninggalkan si ibu dengan “buah karya” berupa beberapa orang anak. Namanya kabur, tentu saja konotasinya negatif. Jangankan soal biaya hidup dan pendidikan, kabar anak-anak pun tak pernah ditanyakan. Waktu pun berlalu, salah satu anak sudah mampu membiayai hidupnya, ibunya dan keluarganya. Tak disangka, sosok ayah yang selama ini tak pernah ada kini kembali muncul dengan fisik yang sakit-sakitan dan tentunya kesulitan ekonomi. Bagi si anak, tak ada pilihan lain kecuali menerima kembali si ayah dengan penuh lapang dada dan kebesaran hati. Tanpa bisa protes dan marah akan kepergian ayahnya selama ini. Ironis kan, bahwa dibalik begitu banyak penderitaan ternyata masih tersimpan setitik kebahagian yang mau tak mau harus dapat dinikmati meski sebentar saja.

Adapula kisah ironi antara dua orang sahabat yang sudah seperti sanak saudara (sebut saja A dan B), tetapi kemudian seolah menjadi musuh satu sama lain. Ironisnya hanya karena salah satunya percaya akan lontaran fitnah diluar logika yang diumpankan pihak ketiga. Sementara si A semakin benci tanpa alasan dengan si B, bahkan memutuskan tali silahturrahmi keduanya. Si B disisi lain, harus bersabar dan berkepala dingin atas semua fitnah yang dilimpahkan kepadanya. Keduanya tak akan pernah bertegur sapa sampai salah satu tersadar akan pedihnya hidup tanpa saudara. Dan masih banyak lagi kisah ironi lainnya.

Kadang saya pikir, mungkin ironi adalah salah satu cara Tuhan yang paling efektif untuk “menegur” manusia. Menguji seberapa besar keimanan kita terhadap nilai-nilai penting dalam hidup yang selama ini kita abaikan. Bagi saya tak ada jalan lain selain menikmati segala ironi yang ada dalam hidup karena tampaknya tak bisa dihindari. Mungkin jalan yang terbaik adalah dengan menertawakan hidup yang penuh misteri dan ironi, sambil terus bersyukur akan apa yang terjadi. Dengan bersahabat dengan ironi, mungkin hidup akan bisa bersahabat dengan kita. Semoga.

KEBON SIRIH, 23.00 P.M.

STARSTRUCK

Setiap orang yang jadi “korban” terpaan media massa (khususnya film atau televisi), pasti pernah mengalami sindrom starstruck. Bagi yang asing dengan istilah starstruck, secara sederhana artinya ketertarikan terhadap orang terkenal, baik aktor, aktris, ataupun selebriti lainnya.


Tampilan para “bintang idola” di layar kaca bisa jadi membuat setiap penonton jatuh hati. Tak jarang rasa ketertarikan terhadap “bintang idola” mendorong kita melakukan hal-hal norak dan unbelievable. Kadang, meski kita sadar itu norak, kita tetep aja ngga malu. Padahal kita tahu: apapun hal norak yang kita lakukan, si “bintang idola” ngga akan peduli, lha wong kenal pun tidak :p

Banyak perilaku menggelikan yang dilakukan mereka yang mengidap sindrom starstruck. Misalnya aja para penggemar boyband super junior asal Korea, yang rela ngikutin gaya berpakaian, ngafalin koreografi trus smua lagu2 idola mereka. Bahkan update kisah kehidupan para personilnya di kehidupan nyata. Padahal jelas-jelas ngga akan juga keluar di soal ujian apapun (penggemar fanatik boyband ini kebanyakan memang anak sekolahan). Meski dianggap aneh dan ngga penting, para penggemar suju tetep aja melakukan segala hal yang membuat mereka dapat merasa lebih dekat dengan “bintang idola”nya. Udah gilak, ya mau gimana lagi coba?!


Sebagai “penonton berat” (penonton yang kuat melek nonton film atau serial tv hingga lebih dari lima jam sehari), saya juga mengidap sindrom starsruck. Tapi lantaran beda selera dengan para anakmudamasakini (kemudian digaplok pembaca), sindrom starstruck saya jatuh pada aktris Gillian Anderson dan David Duchovny, keduanya bintang lawas dan legendaris dalam serial televisi The X-Files, yang pernah jaya di masa 1990-an. Puluhan tahun sejak serial itu usai di televisi, saya pikir sindrom starstruck terhadap keduanya sudah memudar perlahan. Tapi anehnya ternyata ngga sama sekali. After all years, the chemistry is stay still. You guys may call me weird, but that’s the fact and I don’t even lie.

Jujur, saya kurang tau kalo sindrom starstruck itu punya semacam expired date atau ngga. Tapi kebanyakan orang yang saya kenal, hanya mengidap sindrom starstruck dalam jangka waktu pendek. Mudah suka, tapi juga mudah lupa. Sementara saya tergolong pribadi yang anomali. Ngga gampang suka, dan susah lupa. Nah lho?!.

Seiring dengan berjalannya waktu, sang “bintang idola” pastinya bertambah usia, atau bahkan berubah drastis secara fisik. Tapi buat saya, perubahan itu bahkan ngga merubah rasa ketertarikan saya. Hahaha, absurd banget kan?!. Misalnya aja klo liat si Gillian Anderson atau David Duchovny jadi bintang tamu dalam sebuah talkshow belakangan ini. Atau bahkan gosip mereka pisah sama pasangan masing-masing trus digosipin kencan bareng. Asli, rasanya kepo banget untuk browse lagi, lagi, dan lagi semua tentang duet maut itu. Plus dengan ekspetasi norak yang bahkan gak logis menurut orang awam: Hoping that both Gillian Anderson & David Duchovny become a couple as in the tv serial :p.

Bodo amat dah dikatain sakit jiwa juga, pokoknya I want to believe! Hahaha :D Kadang saya bingung juga kenapa efek sindrom starstruck bisa segitunya. Secara psikologis pasti ada penjelasan kenapa tayangan televisi begitu berpengaruh terhadap konsep “role model” penonton. Trus kenapa juga masa sindrom starstruck tiap orang berbeda-beda jangka waktunya? Apa aja faktor-faktor penyebabnya? Emangnya ada hubungannya dengan kemampuan “move on “ seseorang?! Wkwkwk..

Kebon Sirih, 23.29 WIB