Semesta itu ada lengkap dengan segala ironi di dalamnya. Setidaknya itu yang ada di benak saya belakangan ini. Menjadi saksi mata atas berbagai macam pengalaman hidup orang-orang di sekitar saya, membuat saya gemas sekaligus skeptis tentang gagasan hidup yang aman dan damai serta sarat dengan nilai jujur dan adil. Kadang, seberapa besar pun usaha kita menjadi manusia yang sebenarnya, tampaknya tak cukup membuat hidup kita bahagia sesuai yang kita angan-angankan.
Contoh yang mudah saja, soal perselingkuhan. Siapa sih yang ngga pernah menjadi saksi atas tema “populer” tersebut. Atau bahkan ikut menjadi pelakonnya mungkin? Salah satu kasus misalnya, suami/istri yang setia dan mulai membosankan bagi pasangannya. Maka dimulailah intrik perselingkuhan yang dipacu dari keinginan memicu adrenalin agar hidup menjadi lebih “hidup”. Di satu sisi, salah satu pasangan (sebut saja X) mau saja dibodoh-bodohi tetap berpegang teguh akan rasa percaya terhadap pasangan hidupnya yang jelas-jelas sudah dikhianati. Lucunya, si X sebenarnya sudah tahu bahwa ia sudah dikhianati oleh pasangannya, tapi demi menjaga reputasi lembaga pernikahan keduanya, X terpaksa berpura-pura tak terjadi apa-apa. X menjadi manusia yang kemudian mampu membohongi dirinya sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.
Di sisi lain, pasangan X (sebut saja Y), semakin kecanduan akan sensasi perselingkuhan. Demi menutupi boroknya sendiri, ia selalu membuat kebohongan demi kebohongan di depan X, juga orang-orang di sekitarnya. Y tahu bahwa yang dilakukannya bukanlah hal yang benar, ia pun sadar bahwa itu dilarang. Tapi ia terus dan terus melakukannya. Pada saat yang sama, si Y pun menyakiti perasaan pasangannya berulang kali tanpa merasa bersalah. Sementara itu, di depan semua orang Y berpura-pura menjadi sosok yang dihormati dan terlihat tak bermasalah dengan pernikahannya.
Di mana letak ironi-nya? Ironi ketika orang melihat pernikahan X dan Y baik-baik saja, sebenarnya pada nyatanya X dan Y saling menutupi kenyataan bahwa kehidupan pernikahannya sudah porak-poranda. Semakin menjadi ironi ketika keduanya berpura-pura tak terjadi apa-apa. Semakin nyaman, menyakiti satu sama lain. Kalau sudah begini, jelas keduanya butuh psikiater.
Cerita ironi lain datang dari pengalaman seorang kawan yang sudah ditinggal kabur ayahnya sejak kecil. Konon, ayahnya pergi begitu saja meninggalkan si ibu dengan “buah karya” berupa beberapa orang anak. Namanya kabur, tentu saja konotasinya negatif. Jangankan soal biaya hidup dan pendidikan, kabar anak-anak pun tak pernah ditanyakan. Waktu pun berlalu, salah satu anak sudah mampu membiayai hidupnya, ibunya dan keluarganya. Tak disangka, sosok ayah yang selama ini tak pernah ada kini kembali muncul dengan fisik yang sakit-sakitan dan tentunya kesulitan ekonomi. Bagi si anak, tak ada pilihan lain kecuali menerima kembali si ayah dengan penuh lapang dada dan kebesaran hati. Tanpa bisa protes dan marah akan kepergian ayahnya selama ini. Ironis kan, bahwa dibalik begitu banyak penderitaan ternyata masih tersimpan setitik kebahagian yang mau tak mau harus dapat dinikmati meski sebentar saja.
Adapula kisah ironi antara dua orang sahabat yang sudah seperti sanak saudara (sebut saja A dan B), tetapi kemudian seolah menjadi musuh satu sama lain. Ironisnya hanya karena salah satunya percaya akan lontaran fitnah diluar logika yang diumpankan pihak ketiga. Sementara si A semakin benci tanpa alasan dengan si B, bahkan memutuskan tali silahturrahmi keduanya. Si B disisi lain, harus bersabar dan berkepala dingin atas semua fitnah yang dilimpahkan kepadanya. Keduanya tak akan pernah bertegur sapa sampai salah satu tersadar akan pedihnya hidup tanpa saudara.
Dan masih banyak lagi kisah ironi lainnya.
Kadang saya pikir, mungkin ironi adalah salah satu cara Tuhan yang paling efektif untuk “menegur” manusia. Menguji seberapa besar keimanan kita terhadap nilai-nilai penting dalam hidup yang selama ini kita abaikan. Bagi saya tak ada jalan lain selain menikmati segala ironi yang ada dalam hidup karena tampaknya tak bisa dihindari. Mungkin jalan yang terbaik adalah dengan menertawakan hidup yang penuh misteri dan ironi, sambil terus bersyukur akan apa yang terjadi. Dengan bersahabat dengan ironi, mungkin hidup akan bisa bersahabat dengan kita. Semoga.
KEBON SIRIH, 23.00 P.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar