“Pemimpin Itu Pelayan”
Pertama
kali saya baca kalimat itu dalam sebuah artikel Islami yang tak sengaja saya
temukan saat melakukan riset iseng-iseng. Penasaran dengan judul artikel
tersebut, saya kemudian membaca isinya. Artikel tersebut berkisah tentang Khalifah
Al Makmun yang mengambilkan sendiri air minum untuk tamunya di malam hari.
Sementara sang tamu merasa heran, mengapa Khalifah tersebut tidak menyuruh
pelayannya saja, melainkan memilih melayani sendiri sang tamu. Sang Khalifah dengan
yakin berkata “Tidak” ia kemudian menjelaskan, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’”
(HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Usai
saya membaca dan memahami artikel tersebut, seketika saya merinding. Bukan karena
takut, melainkan takjub. Kisah sederhana ini mengusik konsep kepemimpinan yang
terlebih dahulu saya pahami di kepala saya. Hampir sepanjang hidup saya, pemimpin tak pernah terlihat sebagai
pelayan. Segala hal yang berkaitan dengan Sang Pemimpin selalu berupa: “perintah”
dan “yang diperintah”. Jika mata rantainya diperpanjang menjadi hubungan
sebab-akibat logis, hanya ada dua skenario yang ujung-ujungnya membuat posisi “yang
diperintah” serba salah. Dengan adanya
konsep perintah, hubungan antara Sang Pemimpin dan “yang dipimpin” sudah pasti
tidak pernah sejajar.
Jika
mau dicermati, hampir setiap Pemimpin di dalam institusi, organisasi,
birokrasi, atau bahkan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat kita
menggunakan konsep “perintah” dan “yang diperintah” seperti di atas. Tak
jarang, sosok Pemimpin di masyarakat kita, selalu identik dengan gaya
kepemimpinan yang otoriter. Semakin berkuasa, semakin otoriter pula gaya
kepemimpinannya. Semakin banyak “perintah” yang ditebar kepada “yang diperintah”.
Lantaran “yang diperintah” tak punya pilihan lain selain menuruti “perintah”
Sang Pemimpin, konsekuensi psikologisnya jelas: Sang Pemimpin merasa makin
besar kepala, sementara “yang dipimpin” merasa semakin tak berdaya.
Maka
tak heran bila arogansi menjadi tipikal utama sosok Pemimpin di masyarakat
kita. Kemudian bagaimana dengan “yang dipimpin” ? Ada tiga kemungkinan kategori
bagi mereka “yang dipimpin”. Pertama,
tipe ikut mainstream, cari aman dengan
menurut terhadap segala perintah sambil sekalian cari muka. Kedua, tipe pemberontak yang setengah
hati menuruti perintah, tapi mencibir di belakang. Ketiga, tipe rasional yang tak serta merta menurut perintah tanpa
alasan yang dianggap logis. Ironisnya, tipe pertama
lah yang cenderung “berhasil” menjalin kedekatan psikologis dengan Sang
Pemimpin dengan konsep “perintah” tadi. Mereka kemudian menjadi embrio baru
bagi Sang Pemimpin yang berwatak tipikal seperti sebelumnya. Sebuah sistem
kepemimpinan yang selama ini ternyata salah kaprah.
Konsep Pemimpin sebagai
Pelayan?
Sejarah
ternyata sudah memberikan contoh nyata konsep kepemimpinan yang efektif
sekaligus manusiawi. Konsep modern kepemimpinan pelayan diperkenalkan oleh
Robert K. Greenleaf dalam esainya di tahun 1970. Filosofi kuncinya ialah bahwa
tujuan utama seorang pemimpin ialah untuk melayani perusahaan yang mereka
pimpin.
Greenleaf
terinspirasi oleh Journey
to the East yang ditulis oleh novelis mistis
Herman Hesse. Hesse sendiri sangat terpengaruh oleh
filosofi Timur, yaitu konsep kepemimpinan pelayan yang muncul di teks Hindu
India dahulu kala dan dalam Taoisme China. Sebuah kisah dalam buku Journey to the East menceritakan tentang
sekumpulan orang yang melakukan perjalanan ke timur tengah.
Tokoh
sentral dalam kisah ini bernama Leo, Sang Pelayan (Leo The Servant). Dalam perjalanan tersebut, Leo berperan sebagai
pelayan yang melayani segala kebutuhan mereka. Tak hanya mencukupi kebutuhan
mereka, Leo bahkan seringkali bernyanyi dan memberikan semangat kepada mereka.
Leo terlibat total dalam menjalankan semua fungsi kecil yang luput dari
perhatian mereka, hingga hal-hal besar. He
is the person of extraordinary presence. Semua berjalan lancar sampai Leo
menghilang. Kemudian kelompok jatuh ke dalam kekacauan dan perjalanan tersebut
gagal. Mereka tak mampu meneruskan perjalanan mereka tanpa Leo Sang Pelayan.
Setelah bertahun-tahun kemudian, seseorang yang pernah menjadi Sang Narator
dalam kelompok tersebut berhasil menemukan Leo. Kemudian membawanya kepada sang
Pemimpin yang mensponsori perjalanan mereka ke Timur Tengah. Setelah bertemu
Sang Pemimpin, barulah mereka sadar bahwa Leo yang selama ini mereka kenal
sebagai Sang Pelayan merupakan Guru dan Penasehat Spiritual bagi Sang Pemimpin
dalam perjalanan menuju Timur Tengah tersebut. Kisah Pemimpin sebagai Pelayan
itu tak hanya menyentuh nurani, tapi juga memberikan inspirasi bagi semua orang
di seluruh dunia pada masanya.
Mencari Sosok Pemimpin
yang Melayani
Dalam
hitungan hari DKI Jakarta akan melangsungkan pemilihan Gubernur. Enam pasang
calon gubernur kini sudah mulai tancap gas untuk meyakinkan warga Jakarta bahwa
merekalah calon pemimpin yang dibutuhkan dan diidam-idamkan warga Jakarta. Majunya
calon gubernur dari jalur independen pun mewarnai pesta demokrasi lima tahunan
warga Jakarta.
Jelang
masa kampanye, politik pencitraan pun kian bersemi di media massa. Baik cetak,
elektronik, juga internet. Belum lagi kepentingan bisnis media massa yang aji
mumpung memanfaatkan momen tersebut untuk menyedot perhatian publik dengan
berbagai macam dalih. Meski begitu, memang tak ada jalan lain bagi para calon
pemimpin DKI I tersebut, selain tampil menarik dan meyakinkan di media massa
agar “dikenal” dan selanjutnya “dipilih” warga.
Sebagai
bagian dari insan pers, saya punya pengalaman luar biasa bertemu empat dari
enam calon gubernur DKI Jakarta. Bagi ukuran media di tempat saya bekerja,
empat dari enam cagub memang bukan indikasi berhasil. Tapi secara pribadi saya
belajar banyak dari empat cagub yang telah saya temui; Faisal Basri, Hendarji,
Hidayat Nur Wahid dan Jokowi. Dua cagub sisanya ibarat sulit “dijangkau”. Aneh?
Jawabannya Ya dan Tidak.
Aneh
karena kedua cagub tersebut kok ogah ya muncul di layar kaca sebagai narasumber?
Padahal tema dan visi mereka sudah disesuaikan dengan tema program dan masalah
sosial warga Jakarta. Tanpa dipungut biaya apa pun lagi. Lebih aneh lagi,
mereka kok lebih berani memasang
iklan berbudget milyaran rupiah di media lain untuk sekedar pencitraan dan
jualan visi misi ketimbang hadir sebagai narasumber dan berdialog langsung
dengan warga sambil mengupas problematika Jakarta.
Tidak
aneh juga, lantaran keduanya beralasan sibuk dengan jadwal dan kegiatan mereka
masing-masing. Maklum keduanya tergolong cagub incumbent yang masih menjabat sebagai kepala daerah tertentu.
Terlepas
dari itu, saya punya penilaian sendiri terhadap empat cagub yang telah saya
temui. Seperti yang saya duga, dua cagub yang datang dari kubu independen
relatif lebih mudah ditemui dan fleksibel. Mereka tak menutup mata bahwa undangan
media massa tertentu merupakan kebutuhan dan kesempatan mereka untuk melakukan
sosialisasi bagi visi dan misi mereka. Keduanya terlihat tertantang dengan
konsep “merakyat” untuk datang langsung ke lokasi yang dianggap
merepresentasikan problematika di DKI Jakarta selama ini, melakukan tanya-jawab
dengan presenter, hingga berdialog langsung dengan warga. Hal ini lumrah,
lantaran tak ada partai besar sebagai kendaraan politik yang mereka tumpangi. Nasib
keduanya dalam perhelatan akbar DKI I kelak amat bergantung dengan suara warga
Jakarta.
Sebelum
bertemu dengan Hidayat Nur Wahid dan Jokowi, saya sempat pesimis. Konon cagub dari
partai-partai besar tak lagi semurni persona aslinya. Sekuat apa pun karakter
mereka, pengaruh partai bersangkutan sebagai kendaraan politik yang
memfasilitasi mereka tak bisa dipungkiri. Perkiraan saya hampir benar setelah
bertemu dengan Hidayat Nur Wahid. Lantaran sudah pernah menjabat di
pemerintahan, tokoh tersebut persis seperti sosok Pemimpin dalam konsep “perintah”
dan “yang diperintah”. Tipikalnya pun nyaris sama. Hanya saja tiba-tiba citranya
berbeda ketika kamera mulai merekam kegiatan sang tokoh. Pandai bersandiwara?
Mungkin saja. Kepada saya beliau sempat keberatan ketika tahu bahwa lokasi
pengambilan gambar sedang terendam banjir hingga sedalam lutut kaki orang
dewasa. Berbagai alasan muncul dari Sang Calon Pemimpin. Intinya sih sama. Tak ingin pakaiannya basah dan
terendam banjir. Meski pada akhirnya beliau terpaksa turun ke lokasi berkat
lobby-lobby manis dan sebuah sepatu bot baru yang dibelikan tim suksesnya. Jauh
dalam lubuk hati, saya kecewa dan makin pesimis. Apa benar ada calon gubernur
yang benar-benar mampu “melayani” sebagai pemimpin?
Masih
dalam rasa pesimis, saya kemudian bertemu dengan sosok Jokowi. Kesan pertama
pun janggal. Lantaran tak seperti pemberitaan di media massa sebelumnya. Mungkin
ekspektasi saya terlalu berlebih. Mungkin pula karena ia baru saja dianugerahi
penghargaan dari institusi bergengsi di negeri ini. Karena sosoknya tak
sesederhana dan seramah yang saya bayangkan. Senyum terkulum dan tak banyak
bicara. Meski begitu, satu pertanyaan yang saya jawab singkat ternyata sudah
membuat sang cagub mengerti. Tapi auranya langsung berbeda ketika berhadapan
langsung dengan warga. Sebelum kamera menyala, ia menghampiri dan menjawab
semua orang yang mengerubung. Saat saya dan rekan-rekan saya bingung mencari
titik yang bagus untuk setting, ia
pun malah membantu memberi pendapat. Solusi praktis, bukan tanggapan klise yang
menyalahkan atau cari aman. Bahkan saat re-take
berulang kali ia tak pernah protes. Padahal hanya satu jam tersisa jelang
keberangkatan pesawatnya ke Solo. Usai pengambilan gambar, rasa penasaran saya
belum puas. Saya pun meminta sedikit waktu untuk mengabadikan momen bersama para
kru. Ia pun serta merta melayani tanpa keberatan. Saya tak pernah tahu apa ini
hanya bagian dari politik pencitraan atau tidak.
Sayang
sekali, saya baru bertemu empat dari enam cagub DKI Jakarta. Tapi jika saya
boleh bermimpi, saya ingin melihat Pemimpin yang mampu dan mau menempatkan diri
sebagai “pelayan”. Sudah terlalu banyak contoh pemimpin yang hobi memberikan “perintah”
di negeri ini. Tak satu pun di antara mereka yang mampu membuka mata hati kita.
Apalagi membawa perubahan di Ibu Kota.
Mayoritas
warga DKI Jakarta hidup di ambang garis kemiskinan. Mereka seingkali memandang
diri mereka sebagai “orang kecil”. Keberadaan mayoritas “orang kecil” di kota
besar inilah yang selanjutnya punya konsekuensi logis terhadap munculnya
beragam problematika ibukota. Mulai dari banjir, Pemukiman Kumuh, Kemacetan,
Sampah, Tata kota yang semrawut, Fasilitas dan sarana transportasi yang serba
minim, hingga mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Dalam
buku Menjadi Manusia karangan Jakob
Sumardjo, disebutkan bahwa
“Orang kecil hanya peduli pada hal-hal
kecil sehari-hari. Mereka hanya peduli
pada bagaimana menghidupi keluarga sehari-hari.”
pada bagaimana menghidupi keluarga sehari-hari.”
Tak
heran, bila mereka cenderung apatis terhadap siapapun calon pemimpin mereka
nanti. “Orang Kecil” terlalu banyak menanggung akumulasi derita akibat gaya
kepimpinan yang sarat dengan “perintah”. Bila sudah demikian, pemimpin yang
melayani mutlak dibutuhkan. Tak hanya untuk membangun kembali kepercayan para “orang
kecil”. Tapi juga memberi inspirasi dan teladan bagi pimpinan di atasnya.
Ada kutipan menarik dari
Jakob Sumardjo, yang terus mengusik saya hingga kini:
“Orang besar yang bersikap
seperti orang kecil inilah yang langka. Kebanyakan orang besar memang bersikap
seperti layaknya orang besar. Bahkan ada orang-orang tak besar bersikap sok
besar. Maka belajarlah dari orang kecil. Jadilah orang besar yang bersikap
seperti orang kecil.”
seperti orang kecil.”
Dalam konteks mencari
calon gubernur DKI yang melayani, pilihlah sosok “besar” yang bersikap seperti “orang
kecil”. Pemimpin yang “melayani” bukan yang “ingin dilayani”.
17. 06. 2012. 05.00 a.m.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar